Bismillah…
Waktu
terus bergulir dan langkah kaki ini harus terus berjalan. Seperti itulah sebuah
perjalanan kehidupan sementara di dunia. Setiap proses perjalanan ini sudah
semestinya kita mensyukuri atas segala nikmatNya. Setiap jengkal langkah dan
aktivitas kita senantiasa Allah kirimkan kenikmatan-kenikmatan yang luar biasa
yang terkadang kita sering terlena dan lupa.
Terkadang ungkapan “..rumput
tetangga terlihat lebih hijau..” seakan menjadi sebuah ungkapan yang sering
kita dengar saat bertemu dan berbicara bersama
teman-teman lama tau reuni. Banyak yang melihat kehidupan seseorang
hanya dari kacamata kesuksesan dan enaknya. Padahal kita tak pernah tau usaha
atau ujian apa yang ada di balik keberhasilan itu.
Sudah hampir 1 tahun berada di Bogor, pertama kali
pengalaman saya merantau setelah 23 tahun hidup dan tinggal di tanah kelahiran
bersama orang tua. Saat awal mulai merantau memang berat dan sering melihat
kehidupan seseorang hanya dari kacamatan keberhasilan dan kesenangan semata.
Selama berkelana di Bogor dan bertemu dengan berbagai teman, guru, sahabat
dengan berbagai kisah dan latar belakangnya yang membuat saya semakin
bersyukur.
Pada awal mula datang ke Bogor dan mulai semester 1
tahun 2018 silam, sudah ada aja kakak tingkat yang lulus dan tinggal wisuda.
Dalam hati saya pernah terbesit rasa, “enak ya, mbaknya selesainya cepet dan
bisa langsung pulang ke kampong halamannya”. Wajar rasa ini muncul karena saya
masih terjangkit rasa rindu rumah yang kuat (homesick) hehe. Namun, suatu ketika Allah menegur saya melalui
sebuah kisah hidupnya mbaknya. Ternyata, mbaknya ini adalah seorang anak
tunggal dan harus meninggalkan kedua orang tuanya di kampong halaman. Selain
itu, ternyata ibunya sudah sakit dan ndak bisa berjalan beberapa bulan terakhir
dan harus dilakukan operasi serta ada kendala finansial. Hingga saat wisuda pun
harus menggunakan kursi roda. Setelah wisuda pun mbaknya juga galau untuk
mencari pekerjaan di kampong halamannya biar bersama orang tuanya (tapi minim
lapangan pekerjaan) atau harus ke luar kota dengan banyak lowongan pekerjaan
tapi harus meninggalkan kedua orang tuanya. Sekarang mbaknya sudah pulang kampung,
semoga Allah senantiasa mudahkan langkah mbak…
Pernikahan merupakan hal yang diinginkan semua orang,
terutama masa-masa remaja dewasa. Mungkin salah satu efek bonus demografi,
beberapa tahun belakangan ini kita banyak melihat pernikahan yang romantis penuh
kebahagian muncul di berbagi timline akun medsos kita. Sekilas mungkin kita
terpikirkan bahwa dengan menikah maka semua masalah kehidupan yang kita
tanggung sendiri ini akan menemukan solusi. Namun, kenyataannya dunia
pernikahan tidak semudah dan seindah yang kita bayangkan selama ini. Saya menemui
dan mengenal sosok 2 ibu yang luar biasa. Allah pertemukan saya dengan
beliau-beliau sebagai pengingat diri saya untuk senantiasa bersyukur.
Ibu pertama, beliau menikah tepat setelah lulus kuliah
dan pasangan suami istri ini tetap sabar dalam menunggu kehadiran buah hati. Setelah
18 tahun pernikahan mereka, Allah karuniakan seorang putri yang saat ini masih
duduk di bangku SMP dan usia ibu saat ini sudah sekitar 56 tahun. Tentu ini
bukan perkara mudah, berumahtangga berdua saling mengutkan dan bersabar
menantikan buah hati selama 18 tahun bukan waktu yang sebentar. Alhamdulillah,
putri ini sangat shalihah dan taat pada kedua orang tuanya. Ibu kedua, beliau
seorang ASN peneliti yang saat ini sedang menempuh pendidikan doctoral dan
seorang single parents. Ibu ini sudah
menikah sejak beberapa tahun yang lalu dan melahirkan seorang putra. Ketika seorang
putranya berusia sekitar 1 tahun lebih, suaminya meninggal dunia karena
kecelakan bersama dengan ayahnya (mertua). Saat ini suaminya sedang
mengantarkan ayahnya untuk medical check up untuk keperluan administrasi
keberangkatan haji menggunakan sepeda motor dan mengalami kecelakaan. Saat itu
pula semuanya meninggal dunia. Ibu ini kehilangan suami dan mertuanya (ayah
suami) dengan putranya yang masih kecil. Hingga saat ini beliau menjadi single
parents membesarkan putranya hingga SMP. Itu mungkin hanya sebagian kecil kisah
yang saya temukan dalam proses perjalan kehidupan berumahtangga untuk
menjadikan diri ini senantiasa banyak-banyak bersyukur pada Nya. Semoga Allah
senantiasa meridhoi dan menjaga beliau-beliau..
Seorang muslimah juga tak kalah semangatnya dalam
menuntut ilmu. Saya mempunyai beberapa teman yang memiliki perjuangannya
masing-masing. Sebab, saya meyakini bahwa setiap orang akan berjuang dengan
ujiannya masing-masing. Seperti seorang ibu muda yang sudah memiliki putra dan baru melahirkan putra keduanya
beberapa bulan yang lalu kemudian harus menempuh pendidikan perkuliahan. Setiap
hari setiap ada perkuliahan harus meninggalkan anaknya yang masih bayi dan
harus membawa pompa asi kemana-mana. Selain itu, karena tidak ingin
meninggalkan anaknya terlalu lama maka ibu ini memilih ngelaju Jakarta-Bogor
setiap hari dengan naik KRL yang begitu riwehnya. Terkadang beliau bercerita
bahwa jika sudah dirumah maka akan susah fokus untuk mengerjakan tugas karena
sudah fokus mengurus anaknya. Sering tertampar sendiri, dengan saya yang
keadaannya masih single dan bebas aktivitasnya tapi terkadang semangat dan
rajinnya kalah jauh dari beliau. Selain itu ada seorang teman yang memutuskan
untuk menikah di pertengahan perkulihan. Tentu ini bukan keputusan mudah, pasti
hal ini sudah dipertimbangkan. Beliau menikah dan harus LDM dengan suaminya
karena suaminya kerja di kota yang berbeda. Setelah beberapa bulan pernikahan,
alahmdulillah teman saya hamil di saat kami masih aktif-aktifnya kuliah. Ini bukan
hal mudah juga, sebab di kehaliman pertama ini beliau sering mual-mual hingga
ketika perkulihan sering keluar-masuk kelas. Setiap orang mempunyai pilihan
hidup dan setiap pilihan hidup pasti ada ujian-ujian yang harus dilewati.
Pertama kali merantau, seikit banyak saya jadi bisa merasakan
bagaimana perasaaan orang-orang yang merantau. Terkadang kita baru bisa
memahami kondisi orang lain ketika kita juga merasakannya. Seperti teman-teman
yang harus merantau dari pulau-pulau yang jauh untuk menempuh pendidikan di
Pulau Jawa. Bahkan terkadang ada yang rela tidak pulang saat idul fitri karena alas
an tuntuan studi atau finansial. Mereka berjuang menahan rindu kepada
keluarganya. Ada juga beberapa ibu yang merantau untuk kuliah dengan membawa
anak yang masih kecil. Hal ini bukan perkara mudah, beliau harus tetap kuliah
dan mengasuh anaknya. Begitulah, setiap orang berjuang dengan caranya
masing-masing.
Lain cerita, saat saya pulang kampung ke Jogja saat
Idul Fitri 1439 H ada sebuah kejadian yang membuat saya terenyuh. Pada 3 syawal
lalau, saya bersama keluarga pergi menuju rumah nenek di daerah Sentolo, Kulon
Proga dan menginap. Hari raya masih ramai tamu, sehingga bulik saya meminta
bantuan tetangga (anak perempuan SMK namanya Ajeng) untuk membantu pekerjaan
rumah tangga. Siang hari itu Ajeng telah menyelesaikan pekerjaannya dan
diberikan uang padanya. Siang itu, saya diminta bulik untuk mengantarkan dia
pulang naik motor ke kampong sebelah karena dia tadi juga dijemput naik motor
oleh bulik saya. Saya antarkan Ajeng pulang naik motor. Kemudian saat di perjalanan dia berkata pada
saya, “Mbak nanti coba berhenti sebentar
di pasar ya mbak, aku pengen beli jilbab e”. Perjalanan pulang itu memang
kita akan melewati sebuah pasar. Entah kenapa saat dia bilang seperti itu pada
saya, perasaan saya langsung ‘mak deg’ seperti
ada yang menghentikan jantung dan pikiran saya saat itu. Dia setelah
mendapatkan uang hasil kerjanya itu ingin digunakan untuk beli jilbab. Namun, qadarullah
tokonya saat itu sudah tutup dan kami melanjutkan perjalanan. Selama perjalanan
saya masih terenyuh dan merasa tertampar dengan perkataan Ajeng tadi. Harus teru-terus
banyak bersyukur. Semoga jadi muslimah yang shalihah ya Ajeng..
Begitu banyak kisah penuh hikmah yang Allah
ajarkan kepada kita melalui perjalanan kehidupan ini, tinggal bagaimana kita
menyikapi dan mengambil hikmahnya untuk senantiasa beristigfar dan semakin
bersyukur atas nikmatNya yang begitu luar biasa. Ibnul Qayyim mengatakan bahwa “Syukur adalah menunjukkan adanya nikmat
Allah pada dirinya. Dengan melalui lisan, yaitu berupa pujian dan mengucapkan
kesadaran diri bahwa ia telah diberi nikmat. Dengan melalui hati, berupa
persaksian dan kecintaan kepada Allah. Melalui anggota badan, berupa kepatuhan dan
ketaatan kepada Allah”
Sikap
syukur walau ujian menghadang, hal itu merupakn sifat para Nabi dan Rasul.
Allah berfirman tentang Nabi Nuh
‘Alaihissalam, “(Yaitu) anak cucu dari orang-orang yang Kami bawa
bersama-sama Nuh. Sesungguhnya Nuh adalah hamba yang banyak bersyukur” (QS.
Al-Isra: 3).
Bahkan dalam QS Ibrahim ayat 7 dijelaskan bahwa
bersyukur justru Allah akan semakin menambah nikmat, ini adalah janji Allah. “Dan
(ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mengumumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’” (QS.
Ibrahim: 7).
Syukuri, nikmati dan hadapi setiap episode ujian dalam perjalana
kehidupan ini. Sebab setiap orang pasti akan diuji dengan ujian yang
berbeda-beda. Sekilas sharing dari saya, semoga bermanfaat dan bisa menjadi
pengingat diri ini.
Bogor, 22 September 2019
22.36 WIB
@choir19cca
Komentar
Posting Komentar